Book Review: The Naked Traveler by Trinity

Keren, menarik. Begitu reaksiku ketika menutup buku ini. Bahasa yang digunakan ringan sehingga mudah dimengerti. Buku ini patut diberi rating 5/5!
BOOK review:

The Naked Traveler by Trinity

Judul Buku: The Naked Traveler
Penulis: Trinity
Penerbit: C Publishing
Tahun Terbit: 2007
Tebal: 282
Harga: 37,825 (http://www.pengenbuku.net)

Rating: 5/5
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

The Naked Traveler adalah kumpulan berbagai macam kisah perjalanan yang telah dialami sendiri oleh sang penulis. Buku ini dibagi menjadi tujuh bagian: Airport, Alat Transportasi, Life Sucks!, Tips, Sok Beranalisa, Adrenaline, dan Ups!. Setiap cerita yang ada dalam bagian ini tentu saja berhubungan dengan judul bab masing-masing. Pada bagian yang pertama, Trinity menuliskan segala macam pengalamannya yang berhubungan dengan Airport/bandara; bagian kedua, ia menceritakan kisah-kisahnya dengan berbagai macam alat transportasi dimulai dari pesawat terbang, mobil, bahkan transportasi aneh lainnya. Dan demikian seterusnya, setiap bab dipenuhi dengan kisah-kisah yang menyenangkan tentang seorang backpacker yang hobi jalan-jalan.
Dalam buku The Naked Traveler ini, Trinity membawa pembaca melewati berbagai macam pengalaman yang ia lewati. Beberapa kisah yang menarik untukku antara lain adalah Airport: Kejarlah Daku dan Tangkaplah Bagasimu. Ia menceritakan pengalamannya mengambil bagasi di berbagai macam bandara. Tentu saja Airport internasional milik Amerika dan Eropa adalah contoh bandara yang canggih dengan teknologi traffic light bahkan conveyer belt yang seperti lift. Beda halnya dengan airport di Indonesia - meskipun di negara kita juga mempunyai bandara yang canggih. Contohnya di bandara Samarinda yang berukuran kecil, cara pengambilan bagasinya adalah dengan menurunkan barang satu per satu dari pesawat, ditumpuk dalam troli superbesar, troli diparkir di luar ruang tunggu, dan silahkan cari bagasi anda di antara ratusan koper yang ada. Akan tetapi, lewat cerita Trinity, bandara yang pengambilan bagasinya paling absurd adalh airport Siam Reap (Kamboja) yang melemparkan bagasinya untuk ditangkap.
"Betul saja, begitu pintu kecil dibuka, ada 2 orang petugas yang melempar koper-koper dari dalam pintu dan kita harus berebutan menangkapnya!Bukannya nangkep rambutan, ini sih koper "segede bagong" melayang-layang di udara dan hup, bisa mejret saat menangkapnya, bukan?"
Kisah menarik yang lain berjudul Life Sucks: Terkutuklah Edinburgh. Perjalanan Trinity menuju kota Edinburgh dipenuhi dengan kesialan, dan karena tidak mempunyai banyak info mengenai kota tersebut, ia memutuskan untuk ikut tur. Anehnya, ibu penjaga loket berkulit putih itu melayani seorang Jepang dengan semena-mena, bahkan menjawab sambil melihat ke langit-langit. Ia mengatakn bahwa paket tur sudah habis. Hal yang sama terjadi saat Trinity menanyakan tentang tur kepada ibu itu, dan dengan galak ia menjawab "No tour today!". Karena penasaran, ia terus memperhatikan ibu itu dari kejauhan. Pada akhirnya ia mendapati bahwa pelayanannya jauh lebih ramah kepada seorang cewek bule dan ternyata tur-nya masih mempunyai banyak kursi kosong!
"Saya langsung merepet panjang menceritakan bahwa si ibu di dalam bilang tidak ada tur hari ini bla bla bla... sampai akhirnya saya baru sadar bahwa saya terkena diskriminasi rasial! Suatu kata yang selama ini saya bayangkan hanya terjadi pada orang kulit putih yang merasa superior terhadap kulit hitam pada masa perbudakan."
Lewat cerita yang berjudul Sok Beranalisa: Pulau Indah Terjajah, aku baru menyadari bahwa negara Indonesia telah menyia-nyiakan banyak keindahan alamnya. Saat Trinity bertanya kepada seorang teman di Italia apakah ia pernah ke Indonesia, orang Italia itu menjawab ia tinggal di Cubadak selama 2 minggu. Selain tidak pernah mendengar nama Cubadak, orang Italia itu bahkan tidak pernah ke Bali atau Jakarta yang tergolong populer. Hal tersebut mendorong Trinity untuk pergi ke Pulau Cubadak yang ada di Sumatra Barat. Dan setibanya di resor, sama sekali tidak terlihat orang Indonesia - yang ada adalah orang Italia. Ternyata pulau dengan resor tersebut dikelola orang asing; dan tidak hanya Pulau Cubadak saja, banyak pulau-pulau Indonesia lain yang sayangnya sudah dimiliki atau dikelola oleh orang asing.
"Saya benar-benar tidak merasa berada di Indonesia karena semua orang berbahasa Italia. Pulaunya benar-benar tenang, hanya ada 12 bungalo menghadap pantai dan di belakangnya hutan. Pasirnya putih, airnya yang berwarna emerald green sama sekali tidak berombak. Pokoknya tak terasa ada di pantai karena seperti berada di danau besar yang dikelilingi oleh pegunungan yang berawan. Keren abis!"
Baca kisah-kisah lainnya di The Naked Traveler.